Jika hari ini adalah hari terakhirku menikmati kopi berdua di cafe kesayangan kita, biarkan aku yang meracik aromanya yang kuseduh dengan senyum termanisku. Aku bahagia bisa mengenalmu, dan ijinkan hatiku menuangkan aksara dalam kertas ini, kumohon.
Dear....
Kakakku, jika suatu saat kita berpisah dan berdampingan dengan
ruang yang memiliki bilangan ratusan kilometer, itu bukan sesuatu yang
harus kita takuti. Tuhan tidak pernah menjadikan perpisahan sebagai
sebuah arena untuk saling melupakan. Dan kamu pasti juga selalu jujur
pada nuranimu untuk mengaminkan pertemuan kita selanjutnya.
Kakakku,
Tuhan mencatat takdir yang harus kita penuhi secara sempurna hingga
tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan di hidup ini. Kita
bersua lalu setelahnya muncul serentetan peristiwa yang membuat kita
kembali menjajaki masa dimana kebanyakan orang menyebutnya jatuh cinta.
Kita tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi, kita hanya menjalani
dan melengkapi takdir.
Majelis waktu yang
mempertemukan kita, ketika itu tidak ada perasaan istimewa yang mendera
hati. Kewibawaanmu yang muncul saat itu adalah menyambut dengan
senyum yang bersahabat, melakukan ritual perkenalan lalu meneruskannya
dengan sedikit obrolan ringan sebagai bentuk ucapan selamat datang.
Seulas senyum membentuk bulan sabit di bibirmu bersamaan dengan uluran
tangan, sebuah jabat tangan yang hangat.
kakakku,
bilakah cinta itu penuh tanda apakah bisa dikatakan jika perjumpaan
awal merupakan suatu sinyal bahwa kelak kita akan saling merindu?
Seperti biasa, kita tenggelam dalam rutinitas yang membuat kita sibuk
dengan urusan tanggungjawab. Bahkan di saat seperti itu kita sama
sekali lupa dengan sesuatu yang memang masih terlalu awam untuk
dibicarakan. Awalnya, kita bukanlah dua manusia yang merasakan degup
jantung terlalu cepat ketika tiba-tiba saling memandang, malu-malu
ketika bertemu, dan juga segan untuk bertanya jawab. Kamu dan aku, pada
mulanya hanyalah dua manusia yang menyadari bahwa terbit tenggelamnya
surya masih bisa kita nikmati di tempat ini. Hingga kemudian kita
sama-sama sadar bahwa ada kebahagiaan dan kadang juga kesenduan yang
sukar untuk kita utarakan.
Tatapanmu gugup kala
itu, dan mataku berusaha setenang mungkin menghadapinya. Pikiranmu
campur aduk, dan aku berusaha sebijaksana mungkin menanggapinya.
Itulah kala pertama kita menghabiskan senja di sepanjang jalan dengan
satu bentangan yang membuat satu garis hijau berpadu merah jingga di
batas cakrawala.
kakakku, saat-saat selanjutnya
senja lebih banyak mempertemukan kita. Meski senja terbaik bukan di
tempat ini, tapi momentum yang baik kutemui di uraiannya. Kamu diam
namun matamu berbicara. Bulu matamu yang lentik membuat siluet
sempurna pada bayang warna jingga di ufuk barat. Katamu: “aku senang
bertemu denganmu.”
Metamorfosa, jika ulat tumbuh
menjadi kupu lalu kupu bertelur dan menetaskan ulat, bukankan itu
proses berkepanjangan yang tak akan berhenti beranak-pinak dengan pola
yang sama? Pun demikian pada pertemuan dan perpisahan yang terajut
dari setiap helai benang waktu. Lalu, jika suatu saat kita tak bisa
bebas menikmati senja bersama, yakinlah bahwa Tuhan sedang menyiapkan
jamuan senja masa depan yang tentunya terbaik untuk kita.
kakakku,
kedua kalinya ketika kamu menginjakkan kaki didepan ATM Ambulance
hatiku bertarung membentuk senyuman yang paling manis, antara ketakutan
dan rasa haru melihatmu lagi dan kamu menggandengku ke beranda bahagia
adalah saat kamu percaya bahwa masa depan itu kita jalani, bukan kita
nanti. Dengan bahasamu yang kadang sukar kumengerti, kamu berusaha
memahamkanku bahwa berpasang-pasangan itu bukan perkara kesenangan,
pun bukan sekedar urusan kebahagiaan dan kepuasan. Berpasang-pasangan
adalah sebuah tanggungjawab, peruntukkan tugas bagi manusia yang
dianugerahi akal sehat. Aku faham dan mengiyakan dengan sebuah
guyonan: “kabari saja jika saatnya nanti tiba”. Kamu menunduk,
memainkan gelas yang sedang kamu pegang, aku memalingkan wajah ke arah
lain. Apa yang ada di benakmu saat itu ketika aku merasakan energi
yang membuat jantungku berpacu lebih cepat dari keadaan normal?
Ada
setumpuk pertanyaan ketika sekali waktu kamu datang, pertanyaan yang
membuat perasaan kadang terlalu nyaman, kadang juga menjadi terlalu
termanjakan. Senyum bulan sabitmu terlalu menawan untuk aku lewatkan,
mengingat kemunculannya yang hanya sesekali waktu. itupun demikian pada
saat ketika aku hanya bisa menyebutkan namamu, berharap sebuah pesan
akan menyapaku, atau setidaknya Tuhan memberikan ruang telepati hingga
kamu tahu bahwa aku merindukanmu.
kakakku,
perasaan yang demikian, begitu lembut bahkan terlalu abstrak untuk
diejakan. Seketika aku seperti terjebak dalam ambivalensi: disatu sisi
aku terlampau bahagia tapi di ruang yang lain aku pun merasakan
kesedihan yang luar biasa. Apalagi jika bukan tentang perkara
perpisahan. Bahkan ketika aku mengatakan bahwa kita tidak perlu takut
jika suatu saat berpisah dan berdampingan dengan ruang yang memiliki
bilangan ratusan kilometer, aku pun sedikit was-was. Tapi aku selalu
percaya bahwa Tuhan selalu punya rencana lebih indah dari yang kita
angankan.
Banyak orang yang menggandrungi kisah
cinta orang lain, tokoh-tokoh pujaan, atau pun cerita cinta dalam fairy
tale. Meski demikian, sesungguhnya kisah cinta yang paling dahsyat
adalah yang terjadi pada kita sendiri, bagaimana pun jalannya.
Kakakku aku menanti senja selanjutnya bersamamu,
-Pelataran Halte yang selalu membuatku mengingatmu-