Lalu, Harus berapa kali aku merindu? (day2 #30dwc)


Sekarang, apa yang mesti kupertahankan jika kau saja enggan mengupayakan? Bagaimana aku bisa meneruskan doa, jika kau juga tak punya harap serupa? Lalu, harus berapa kali aku marah sendiri, menangis lagi, marah lalu menangis kembali? Kalau saja ada yang berani mengetuk pintu, lalu kau masih juga masa bodoh denganku, maka kubuka saja gagangnya biar bisa kuhirup nafasmu sendiri

Kata tere liye, Daun yang jatuh saja tak pernah membenci angin. Seperti aku yang tak pernah membencimu meski kau abaikan berkali kali, meski kau sayat kepercayaanku berulangkali.

Harusnya kau bertanya mengapa aku masih setia pada luka yang kerap menjadi nafasku dalam bersabar. Sedangkan sepanjang hari kau masih juga menganggapku robot yang tak punya kesempatan untuk tersenyum. Sepertinya kau terlalu asyik menjejaki sakitku, kau puas melihatku menangisimu, kau menang,Sayang. Padahal dulu kau tak seperti ini

Seperti rindu yang menghampiriku, jarak kulipat begitu indah sehingga tak kulihat celah wajah perempuan lain di hadapanku. Aku selalu bilang itu hanya temanmu, meyakinkan diri bahwa setia masih berada diantara kita. Tapi rupanya kau semakin semangat menyayat-nyayat setiap ayat yang kulumat demi seikat kuat, malah kau minum lagi setengguk anggur, sengaja mabuk biar aku mengamuk.

Bukankah aku hanya akan menangis lagi? Memaafkan setiap khilaf, setiap langkah yang kau anggap penyesalan Lalu tersenyum setiap bilangan jatuh kembali pada titik nol. Seperti biasa saja, seolah aku tak mengapa, seolah butiran salju yang menggenangi mataku hanya untuk membersihkan kotorannya saja. Seperti biasa kau hanya akan berkata mata sembabku terkena angin atau kemasukan debu saja.


Bagaimana jika kali ini kau menatapku dengan lekat, mengingat perjuanganmu mendekatiku sampai mendapatkanku, apa kau masih akan menyayat luka di hatiku? Kau tak pernah tahu-menahu soal jarak yang begitu dekat tapi jauh dalam sekat. Kau tak pernah mau tahu-menahu, setiap aku membuka pintumu, saat itu juga aku menitipkan hatiku di luaran jendela. Sebab yang kutahu, di petakmu aku beku.

Bertanyalah bagaimana aku masih bisa berdiri kokoh menunggumu dalam hujan berganti terik. Tak hanya satu-dua kali aku jatuh dan merangkak sayang, aku kehilangan arah dan pulang dalam petang yang begitu gelap, membawa tangis dari ruang yang ingin lekas kutinggalkan tapi kakiku enggan melangkah dan hatiku masih saja setia menunggumu.

Apa kau benar-benar tak sudi suaraku menggauli tidurmu? Sedang di tempat lain ada yang menjamuku dengan cinta yang lebih mudah kurengkuh, di sana ada yang begitu hormat membubuh rindu.
Kumohon, pikirkan kali ini saja perihal kita, sebelum kita menjadi asing

Comments

Popular Posts